"Sebaik-baik manusia diantaramu adalah
yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain ” . Dan juga “Barang siapa
hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung,
Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang
merugi dan Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah
tergolong orang yang celaka”. Kembali berpikir untuk terus memantaskan diri di
hadapan Allah atas segala kenikmatan yang Dia berikan padaku.
Kejadian ini
tepatnya di akhir tahun 2010 lalu. Saat itu terdengar kabar bahwa istri dari
seorang ustad kami meninggal dunia. Memang kami baru mendengarnya 2 hari
setelahnya, tetapi kisah pada hari-H pengurusan jenazahnya memberikan kisah
yang begitu bermakna bagi kami yang ditinggalkan.
Rumah di
daerah bekasi itu ramai oleh tetangga yang datang melayat dan membantu
mengurusi jenazah. Ada beberapa orang ustad kami yang hadir ke rumah itu (salah
satu dari keduanya yang menyampaikan kepadaku kisah ini). Setelah bersalaman
dan menyampaikan doa, tak terlihat dari wajah keluarga tetesan air mata. Semua
terlihat tegar dan tabah menjalani ujian ini. Kehilangan istri, kehilangan ibu,
yang mungkin bagi sebagian besar orang akan menangis sejadi-jadinya saat tahu
istri atau ibu mereka meninggal. Semua pengurusan jenazah hampir selesai dan
siap dikuburkan.
Saat
disholatkan, seorang ustad yang hadir pada kesempatan itu sempat nyeletuk,
“Begitu tegar dan sabarnya ia, sampai-sampai tak ada air mata yang menetes saat
ia akan mengimami sholat jenazah istrinya. Bisakah saya
seperti dia pada saat terjadi kejadian yang sama..” Ada juga diantara jama’ah
sholat jenazah tersebut yang teringat pada sebuah hadits Rasul yang artinya,
“Apabila seorang muslim wafat dan jenazahnya dishalati oleh empat puluh orang
yang tidak syirik kepada Allah maka Allah mengijinkan pertolongan oleh mereka
baginya (si mayit).” (HR. Abu Dawud)
Selepas sholat jenazah dilangsungkan, semuanya bergegas menuju mobil yang
tersedia untuk mengangkut para pelayat yang akan mengantarkan jenazah hingga ke
peraduan terakhirnya. Sesampainya di TPU, jenazah langsung diturunkan oleh sang
suami dibantu beberapa orang lainnya. Beliau dengan begitu tegarnya, tak
terlihat wajah sedih penuh duka, mengangkat jenazah istrinya. Semua dilakukan
oleh beliau dengan wajah yang tenang. Sampailah pada akhir dari prosesi
penguburan itu, semua orang satu persatu meninggalkan pusara termasuk sang
suami.
Sekembalinya di rumah duka, beberapa orang masih berkumpul dan bercakap-cakap.
Ada yang bertanya tentang kabar saudara yang lain yang belum terlihat hingga
siang itu. Ada juga yang bertanya tentang seorang naqib yang belum terdengar
kabarnya sejak informasi istri ustad tersebut beredar. Walaupun ternyata
setelah diklarifikasi kepada sang empunya rumah, naqib tersebut sudah hadir
dari ba’da shubuh tadi karena beliau harus ke kalimantan untuk memberikan
pelatihan kepada kader-kader disana. Sirnalah prasangka mereka berganti dengan lantunan
istighfar dalam hati dan lirih dari lisan mereka.
Hari sudah semakin sore, para pelayat satu persatu mulai berpamitan kepada
empunya rumah termasuk para ustad. Saat giliran salah seorang ustad akan
berpamitan, tak pelak terdengar suara parau menahan tangis dari empunya rumah.
Ternyata suami itu tak tahan menahan haru dan duka dalam hatinya saat melihat
saudaranya akan berpamitan. Terdengar lirih dari lisannya sebuah pesan pada
ustad tersebut, “Jaga silaturahim akhi”. Memang suara itu terdengar parau tapi
makna kalimatnya jelas tertangkap oleh telinga, diteruskan ke otak, lalu sampai
ke hati.
Di dalam perjalanan pulang, para ustad tadi bercerita dan berdiskusi
tentang kejadian-kejadian hari ini. Akhirnya terungkap bahwa almarhumah adalah
seorang pengidap kanker payudara sejak lama. Suami dan anak-anaknya tahu itu
dengan jelas, dan mereka sudah dikondisikan untuk mengikhlaskan apabila waktu
itu hadir lebih cepat. Suaminya dalam kondisi tersebut tetap bersemangat bahkan
semangatnya berkali-kali lipat dari biasanya. Kini posisi terbaik dalam perusahaan
telah didapatkannya, untuk membiayai pengobatan istrinya. Ia terus berusaha
untuk memberikan yang terbaik untuk keluarga, agama, dan masyarakat. Tak pernah
ia mengeluh pada saudara-saudaranya yang lain. Ia hanya mengukir senyuman pada
orang yang bertanya padanya tentang hal-hal yang menimpanya.
Lantas,
ustad yang diberikan pesan sebelum pulang pun ikut menyampaikan pada forum saat
itu. Berharap ada makna lebih yang bisa diambil dari pesan beliau. Dari
perbicangan dan perenungannya, akhirnya didapatkanlah beberapa makna dari
kalimat “Jaga silaturahim akhi…”
Pertama, menjaga silaturahim sama seperti
menjaga barang kesukaan kita. Harus dengan penuh pengorbanan dan perjuangan.
Dalam ukhuwah tidak mungkin tidak ada perselisihan, sakit hati, kecewa, dan
kekurangan lainnya. Tetapi, itu semua Islam membatasinya. Saat rasa sakit hati,
perselisihan, kecewa, dan kekurangan lainnya itu hadir dalam ukhuwah maka
tidaklah lebih dari 3 hari. Setelah itu, wajib hukumnya untuk menjalin kembali
silaturahim dan mengikhlaskan hal-hal yang berkaitan dengan hal itu.
Dari
silaturahim kepada sesama, kita bisa mendapatkan kawan dan saudara baru.
Silaturahim terdekat adalah silaturahim pada keluarga terdekat, tetangga, dan
lainnya. Terkadang silaturahim dengan tetangga saat ini jarang terjadi karena
sikap individualis, kesibukan personal, dan macam-macam alasan lainnya. Maka
sungguh merugi mereka yang apabila waktu sholat datang tidak berjama’ah di
masjid. Mengapa? karena ia telah kehilangan momentum silaturahim dengan
tetangga. Bukankah silaturahim itu membuka pintu rezeki, menambah pahala, dan
mengikatkan hati di atas jalinan sayang Allah??
Kedua, kalimat itu memiliki arti selainnya
yaitu berbuat kebaikanlah saat kau masih bisa berbuat. Masa kematian itu
hanyalah masa transisi antara masa karya kita di dunia dengan masa penuh
balasan di akhirat nanti. Maka kerjakanlah karya yang terhebat dan fantastis
sejak sekarang juga karena waktu kita di dunia hanya sebentar saja. Tak ada
sehela nafaspun yang sia-sia dengan tidak berbuat kebaikan di masa-masa ini.
Kita sering
merasa jabatan atau amanah kita yang rendah diartikan sebagai pintu penghalang
memberikan kebaikan pada oranglain dan berbuat karya terbaik semampu kita.
Padahal itu adalah cara pandang yang keliru. Malahan saat itu, kita sedang
diberi peluang memberi kebaikan dan menorehkan karya terbaik kita.
Seseorang
yang berprofesi sebagai tukang sapu jalanan mungkin dipandang sebelah mata oleh
orang. Tak seperti pandangan orang-orang pada seorang presiden. Apa yang
berbeda dari mereka?? Tidak ada sama sekali. Mereka
sama-sama manusia ciptaan Alloh Ta’ala. Mereka sama-sama punya tugas dunia yang
sama yaitu beribadah pada-Nya. Merekapun sama, manusia yang berpeluang untuk
berbuat kebaikan dan menorehkan karya terbaiknya sesuai dengan jabatan dan
amanah mereka di dunia ini.
Seorang yang menjabat sebagai presiden tidak akan bahagia apabila
jabatannya itu diperoleh dari yang haram. Tidak akan bahagia apabila ia tidak
bisa memerintah dengan adil. Tapi ia akan bahagia apabila ia mendapatkan jabatan
itu bukan dengan cara yang haram, dan ia bisa memerintah rakyatnya dengan adil.
Begitu pun dengan seorang tukang sapu jalanan. Ia bisa menorehkan karya
terbaiknya di dunia ini dan merasakan kebahagiaan. Tapi bila ia merasa rendah
diri dan tidak melakukan yang terbaik dalam menjalankan tugasnya maka ia akan
menjadi orang-orang yang merugi.
***
Saudaraku..
hidup ini masa kita berbakti pada-Nya
hidup ini masa menanam benih kebaikan
hidup ini masa menyemai kasih sayang
hidup ini masa karya kita
karena kematian hanyalah waktu tunggu bagi kita
antara masa penuh karya (dunia)
dengan masa penuh balasan (akhirat)
yakinlah apapun yang Dia janjikan
sekecil apapun karya yang kita torehkan
di masa
penuh karya ini
maka Dia
akan membalas sepadan
bahkan
berkali-kali lipat
Saudaraku…
optimalkanlah
hidupmu
buatlah ia
menjadi berarti
bagi dirimu
bagi
sekelilingmu
karena hidup
ini
masa penuh
karya
yang rugi
bila terlewatkan
saat
kesempatan masih ada
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen